Pelaku Usaha Kecewa dengan Larangan Mudik
Jakarta, BI – Momentum pelaku usaha perhotelan dan restoran untuk mendapatkan okupansi saat libur Lebaran terancam sirna. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut kebijakan pelarangan mudik makin memperdalam penurunan minat masyarakat untuk melakukan pemesanan hotel setelah sebelumnya ada kebijakan pemotongan cuti.
”Tentu kami kecewa. Kalau bicara domestic travel, itu kan memang target season-nya ada tiga, yaitu tahun baru, mudik Lebaran, dan liburan sekolah,” ujar Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran kepada Jawa Pos, Jumat (26/3). Tiga momen itu yang bisa dimaksimalkan pelaku usaha.
Mengenai potensi terjadinya pembatalan atau cancelation dari calon konsumen, Maulana mengatakan bahwa saat ini pola pemesanan sudah berbeda. ”Kami nggak bisa bicara soal pembatalan reservasi sekarang ini. Tren konsumen sekarang adalah last minute reservation. Karena pemerintah sendiri kebijakannya selalu berubah-ubah,” papar Alan, sapaan akrab Maulana.
Konsumen cenderung tidak mem-booking jauh-jauh hari, menurut Alan, karena mereka ”kapok” dengan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Pola tersebut bermula sejak 2020 ketika pemerintah mengeluarkan pemberitahuan bahwa libur Lebaran dipindah ke Desember.
”Wisatawan yang sudah melakukan pemesanan jauh-jauh hari untuk mudik Lebaran 2020 akhirnya mengubah planing untuk berlibur ke akhir tahun. Namun, pada kenyataannya, last minute diubah lagi oleh pemerintah. Akhirnya saat itu banyak sekali cancelation,” bebernya.
Menurut Alan, situasi yang tidak pasti tersebut membuat konsumen tidak banyak merencanakan perjalanan pada 2021. Termasuk untuk urusan mudik Lebaran. ”Namun, bagaimanapun, yang namanya mudik itu sudah pasti akan terjadi pergerakan. Dan dengan pelarangan ini, yang terjadi adalah orang tidak bergerak,” tegasnya.
PHRI menilai kebijakan tersebut secara tidak langsung memengaruhi upaya sektor perhotelan dan restoran untuk bertahan. Pada kuartal IV 2020 PHRI sempat mendapat geliat demand dengan peningkatan okupansi 40 persen.
Terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti maju mundurnya keputusan pemerintah. Kebijakan yang plinplan tentu memengaruhi ekspektasi dunia usaha. ”Seperti di otomotif sudah dapat diskon PPnBM, kemudian genjot produksi, tiba-tiba kebijakan berubah. Itu rencana bisa buyar semua,” cetusnya.
Melihat data 2019, saat mudik Lebaran, sektor transportasi menyumbang PDB (produk domestik bruto) hingga Rp 220,6 triliun. Angka tersebut relatif lebih tinggi dibanding kuartal sebelum momen mudik.
Dari sisi pengusaha fashion, misalnya, pelaku usaha sudah menyetok bahan baku dan mendesain baju Lebaran. Tapi, lantaran mudiknya dilarang, mereka menanggung rugi.[jawapos]