Akibat Covid-19, Jumlah Yatim Piatu Melonjak di India
INDIA, BI – Tripti dan Pari harus menjadi yatim piatu dalam hitungan hari. Ayahnya meninggal karena Covid-19. Tiga hari kemudian, sang ibu menyusul. Dia meninggal saat tidur bersama si kembar yang masih berusia 6 tahun tersebut. Kini Tripti dan Pari dirawat Ramesh Singh, kerabat ibunya.
”Saya terus mengatakan kepada mereka bahwa orang tuanya segera datang,” ujar Ramesh seperti dikutip Agence France-Presse. Pihak keluarga tidak mau memberitahukan fakta sebenarnya karena si kembar dirasa masih terlalu kecil.
Tripti, Pari, dan Ramesh bukan nama sebenarnya. Identitas mereka disamarkan, tapi kejadian itu nyata. Mereka hanya satu kasus dari ribuan kejadian serupa lainnya. Sepekan yang lalu, seorang bayi ditemukan di samping ibunya yang sudah meninggal selama lebih dari 48 jam.
”Anak-anak seperti itu tidak hanya hidup dalam tragedi emosional. Mereka juga berisiko tinggi ditelantarkan, dilecehkan, dan dieksploitasi,” ujar Kepala Unicef India Yasmin Haque.
Tsunami penularan Covid-19 di India berakibat lonjakan anak-anak yatim dan piatu. Sebagian bahkan yatim piatu karena kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Korban meninggal Covid-19 di India saat ini tercatat sekitar 270 ribu orang. Tapi, jumlah riil di lapangan bisa jadi lebih besar.
Tidak ada yang tahu berapa tepatnya korban meninggal dan berapa anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya untuk selamanya. Namun, permintaan ASI perah dan makanan bayi di dunia maya untuk anak-anak yang kehilangan ibunya terus melonjak.
Beberapa bayi dan anak-anak tanpa orang tua bahkan ditawarkan untuk diadopsi secara ilegal di dunia maya. Pakar keamanan siber yang mendirikan saluran bantuan Covid-19 untuk anak-anak, Akancha Srivastava, mengaku setiap hari menerima setidaknya 300 telepon. Organisasi kesejahteraan anak Bachpan Bachao Andolan juga menyatakan menerima setidaknya 50 telepon per hari.
Situasi tersebut diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat. Sebab, pemerintah India belum mampu mengendalikan pandemi. Sepanjang Selasa (18/5) ada 4.529 kematian akibat Covid-19 dan 267.334 penularan harian baru. Itu adalah rekor kematian harian tertinggi secara global. Rekor sebelumnya dipegang Amerika Serikat (AS) pada 12 Januari lalu, yaitu 4.475 kematian dalam sehari.
Tingginya angka kematian membuat penduduk kewalahan. Kian banyak warga yang membuang jenazah di Sungai Gangga. Per hari ada ratusan jenazah yang mengambang di sungai tersebut. Sebagian penduduk lainnya memilih memakamkan jenazah di pinggiran sungai. Beberapa menyembul ke permukaan.
Jangan tanya soal fasilitas kesehatan. Seluruh rumah sakit penuh. Alhasil, sebagian penduduk yang frustrasi memilih pengobatan tradisional. Salah satunya mandi dengan kotoran sapi yang bagi penganut Hindu merupakan binatang suci.
Ditambah lagi, saat ini angka vaksinasi di India masih rendah. Ironisnya, pemerintah sudah kehabisan vaksin. Padahal, negara tersebut merupakan produsen vaksin Covid-19 terbesar di dunia. Kini hampir semua negara memblokade kedatangan dari India.
Situasi yang berkebalikan terjadi di Uni Eropa (UE). Negara-negara anggota UE kemarin (19/5) setuju untuk membuka pintu perbatasan. Larangan melakukan perjalanan tidak penting antar-27 anggota UE sejak Maret 2020 sudah dicabut. Syaratnya adalah sudah menjalani vaksinasi.
Sementara itu, Uni Emirat Arab (UEA) kini disorot karena memberikan tambahan dosis kepada penduduk yang tidak menunjukkan kekebalan setelah divaksin penuh.
Bersama Bahrain, UEA menawarkan booster vaksin kepada penduduk yang sudah diinjeksi dua kali. Utamanya lansia, mereka yang sakit, dan golongan rentan lainnya. UEA dan Bahrain menggunakan vaksin Sinopharm buatan Tiongkok. [jawapos]