Bedug Takbiran dan Jejak Tradisi Buddha hingga Tionghoa
Jakarta, BI – Umat Islam di Nusantara memiliki cara khas dalam memeriahkan momen perayaan Idulfitri, salah satunya dengan menabuh bedug. Di sejumlah masjid atau surau di Indonesia, bedug juga digunakan sehari-harinya sebagai penanda waktu salat.
Tradisi menabuh bedug bukan orisinal dari ajaran Islam melainkan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan agama Islam di Indonesia.
Jauh sebelum dipakai umat Islam Tanah Air untuk merayakan momen lebaran, kegiatan menabuh bedug dulunya dipakai oleh umat Buddha sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, adapun fungsi dari bedug dipakai umat Buddha untuk memanggil orang-orang agar berkumpul.
Hal tersebut ia jumpai ketika berkunjung ke vihara atau tempat beribadah umat Budha saat berkunjung ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Myanmar, Thailand, Laos dan Vietnam. Pengelola vihara akan memukul bedug beberapa saat menjelang waktu beribadah.
“Kami datang ke suatu vihara, lalu pas siang ada suara bedug kok ada bedug dari mereka bilang itu tradisi memanggil orang untuk mendengar ceramah, jadi sebelum ceramah, mereka dipanggil menggunakan bedug itu, jadi tradisi ini sudah ada sebelum ada di kalangan orang Islam,” ujar Heddy kepada CNNIndonesia.com pada Senin (10/5).
Hal itu menunjukkan bahwa bedug yang saat ini banyak digunakan di Indonesia sebagai alat penanda datangnya waktu sholat rupanya berasal dari umat Budha.
Sementara itu, menurut laman Perpustakaan Nasional, bedug pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tiongkok di bawah komando Cheng Ho.
Pada tahun 1405 sampai 1433, Cheng Ho dan pasukannya singgah ke Indonesia membawa budaya dan tradisi dari leluhurnya salah satunya memukul bedug untuk mempersiapkan barisan tentara.
Suara bedug itu rupanya menarik perhatian penguasa Jawa pada kala itu. Ia pun meminta alunan suara bedug juga diperdengarkan di masjid sebagai penanda sebelum memulai ibadah.
Kini sejumlah masjid di Indonesia memiliki bedug dan dipergunakan sesaat sebelum adzan untuk mengingatkan waktu salat dan mengajak umat Islam salat berjamaah.
Namun seiring waktu, fungsi bedug berubah dari memberitahukan waktu sembahyang, kini juga dipakai untuk menandakan waktu berbuka puasa, hingga menyambut datangnya lebaran.
] Heddy menyebut bahwa hal ini sesuai dengan tradisi orang Indonesia yang kerap merayakan momen besar secara beramai-ramai.
“Supaya keliatan meriah, rame-rame makanya pada mukul bedug itu, ini perkembangan sederhana, dan itu juga terjadi di banyak budaya lain juga, tidak hanya Islam,” ujar Heddy.
Sejak kendaraan bak terbuka masuk ke Indonesia, perayaan lebaran dengan tabuhan bedug tidak hanya dilakukan di sekitar masjid. Tradisi itu akhirnya dibawa ke jalanan atau yang dikenal dengan istilah takbir keliling.
Dalam momen ini, sejumlah warga, baik tua, muda, dan anak-anak tumpah ruah meramaikan pawai takbir keliling mulai dari gang-gang di kampung hingga jalanan kota.
Bagi Heddy pawai keliling bukan sekadar sarana alat untuk menyampaikan pesan syukur kepada Tuhan karena masih diberikan kesempatan untuk merayakan Idulfitri.
Ia juga memandang tradisi masyarakat menggelar takbir keliling dengan menggunakan kendaraan bak terbuka sambil menabuh bedug bagian dari piknik atau rekreasi.
“Buat anak-anak yang di kampung kan mereka tidak setiap hari bisa punya kesempatan keliling tidak ada alasan untuk itu, kalau takbiran kan ada alasan, jadi ini jadi sarana untuk menampilkan kegembiraan mereka,” ujar Heddy.
Sejak ada pandemi Covid-19, masyarakat dilarang untuk menggelar takbir keliling menggunakan kendaraan bak terbuka sambil menabuh bedug. Kini warga beralih menggunakan alunan rekaman bedug lebaran lewat pemutar musik. Bagi Heddy hal itu membawa dua dampak positif.
“Ya tidak masalah ada rekaman orang menabuh bedug, untuk sebagian orang itu tidak mengurangi keramaian dan mereka nggak capek juga, jadi memang adanya teknologi itu dimanfaatkan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia melihat hal itu justru membuktikan bahwa keinginan umat Islam untuk merayakan momen lebaran akan terus ada apapun kondisinya.
Jika dulu mereka bisa melakukannya dengan ikut dalam pawai keliling dengan menabuh bedug sungguhan, kini mereka bisa melakukannya dengan rekaman di kaset.
Hal ini juga membawa dampak baik bagi masjid yang tidak memiliki bedug karena mereka bisa tetap mengumandangkan bedug lewat pemutar lagu.
“Bahkan kalau seperti itu [memutar lagu] semua masjid bisa melakukan karena nggak semua masjid punya bedug lho, dengan rekaman itu bisa menguntungkan petugas masjid yang gak punya bedug, karena mic pasti ada kalau bedug belum tentu punya,” ujarnya.
Jadi bisa dipastikan bahwa tahun ini, sejumlah alunan bedug lebaran masih akan berkumandang. Kendati telah mengalami perubahan dari yang dulu dilaksanakan langsung dengan menabuh bedug kini diganti oleh pengeras suara.
Namun hal itu nyatanya tidak akan mengurangi semarak suka cita umat Islam dalam menutup Ramadhan dan menyambut awal bulan Syawal. (nly/fjr/cnn)