Jakarta, BI – Varian Omicron sedang menjadi perbincangan dunia, tanpa kecuali Indonesia juga sedang konsentrasi menyimak perkembangan virus dengan kode B.1.1.529 itu.
Virua tersebut pertama kali dilaporkan ke WHO dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.
Dua hari kemudian, tim peneliti independen Technical Advisory Group on SARS-COV-2 Virus Evolution (TAG-VE) melakukan penilaian dan memasukkan varian baru ini ke dalam kategori Variant of Concern (VOC).
“Berdasarkan bukti yang disajikan, mengindikasikan perubahan yang merugikan dalam epidemiologi Covid-19, TAG-VE telah menyarankan kepada WHO bahwa varian ini harus ditetapkan sebagai VOC, dan WHO telah menetapkan B.1.1.529 ke dalam VOC, dengan nama Omicron,” tulis keterangan WHO. Omicron adalah huruf ke-15 dalam alfabet Yunani.
VOC merupakan kategori tertinggi bagi varian virus Covid-19 terkait dengan penularan, gejala penyakit, risiko menginfeksi ulang, dan mempengaruhi kinerja vaksin. Sebelumnya, varian virus yang dikenal cepat menyebar yaitu Alpha, Beta, Gamma dan Delta masuk ke dalam kategori ini.
Apa beda varian Omicron dengan varian-varian sebelumnya?
Varian Omicron memiliki sekitar 30 mutasi yang terjadi pada protein spike. Bagian virus yang menyerupai tonjolan paku ini digunakan virus untuk mengikat sel pada tubuh manusia.
“Dan ini mutasi paling banyak, dari varian yang selama ini sudah ada,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama kepada BBC News Indonesia, Minggu(28/11).
Tim peneliti hanya butuh waktu 17 hari untuk menempatkan Varian Omicron ke kategori VOC. Pada varian-varian sebelumnya, tim peneliti membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meneliti dan menetapkan pada kategori VOC.
Misalnya, varian Delta yang ditemukan di India pada Oktober 2020. WHO kemudian memasukkan varian ini ke kategori VOC pada 11 Mei 2021.
Apakah varian baru ini lebih ganas?
Ahli virus dari Universitas Udhayana, Prof I Gusti Ngurah Kadek Mahardika mengatakan sejauh ini belum ada data klinis yang menunjukkan varian baru ini membuat gejala berat pada pasien. Bagaimanapun, kemungkinan varian baru “lebih ganas dan kurang ganas” terhadap tubuh manusia.
“Potensinya dua, yaitu lebih ganas dan kurang ganas. Jadi perubahan itu selalu dua arah, tak pernah satu arah,” kata Prof I Gusti Ngurah Kadek Mahardika.
Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan data lebih lanjut seperti uji tantang pada hewan coba, termasuk “data klinis dari pasien, baru kita bisa berasosiasi dengan patologi dan gejala klinis, dan juga keganasan virus”.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan sejauh ini dampak dari varian baru Covid-19 ini belum terkonfirmasi.[bi/jpnn]