17,1 Persen Masyarakat Depresi Setelah Pemilu 2024
Masyarakat yang depresi bukan hanya caleg gagal tapi juga pendukung paslon
Hong Kong, BI [29/02] – Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menyebutkan, 16 persen masyarakat Indonesia mengalami kecemasan seusai Pemilu 2024. Lalu, 17,1 persen mengalami depresi. Itu tidak hanya terjadi pada caleg yang gagal terpilih, tetapi juga masyarakat umum.
Penelitian tersebut berangkat dari temuan di Amerika Serikat pada 2016. Ketika itu, ditemukan fakta bahwa penduduknya mengalami gangguan kejiwaan setelah pemilihan presiden. Begitu juga di Filipina pasca pemilihan Presiden Marcos Jr.
Dari dua fakta tersebut, Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa melakukan penelitian untuk melihat apakah fenomena serupa terjadi di Indonesia. ”Ada temuan prevalensi kecemasan dan depresi di Indonesia pascapemilu lebih tinggi dibandingkan data hasil Riskesdas 2018 dan Direktorat Keswa Kemenkes 2022,” kata Ketua Tim Peneliti dr Ray Wagiu Basrowi kemarin (28/2).
Pada Riskesdas 2018, kecemasan dialami 9,8 persen masyarakat Indonesia. Lalu, depresi dialami 6 persen masyarakat. Jika dibandingkan dengan studi kasus yang dimiliki Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, angka depresi dan anxiety meningkat pascapemilu.
Ray cukup percaya diri penelitiannya valid untuk memotret masyarakat Indonesia. Sebab, secara metodologi, survei tersebut memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2 persen. ”Jumlah responden sebanyak 1.077 orang dengan usia 17 tahun ke atas atau yang sudah memilih,” ujarnya.
Responden berasal dari 29 provinsi. Ada juga responden luar negeri. Provinsi yang banyak mengisi adalah Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebanyak 77 persen responden merupakan perempuan.
Ray menambahkan, angket penelitian disebar secara random melalui media sosial. Karena disebar secara acak, dalam penelitian itu juga terdapat 55 responden calon anggota legislatif dan 80 responden keluarga inti calon anggota legislatif.
Ketua Health Collaborative Center (HCC) itu mengemukakan, ada konflik internal dan eksternal yang memicu gangguan jiwa pada responden. Dari sisi internal, kegelisahan siapa yang akan dipilih saat pemilu menjadi pemicu gangguan jiwa. Selanjutnya, perbedaan politik dengan orang lain menjadi pemicu konflik dari sisi eksternal. ”Kami juga menemukan adanya tekanan pihak luar selama pemilu dan itu dianggap mengganggu,” ungkapnya.
Bentuk tekanan itu berupa ajakan, seruan, paksaan, dan bahkan kiriman materi media sosial. Pelakunya paling banyak berasal dari keluarga. Hal itu juga mengakibatkan depresi dan cemas.
Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa Nila F. Moeloek mengungkapkan, temuan itu menunjukkan bahwa perlu ada intervensi dan mitigasi khusus di masyarakat. Tujuannya, kecemasan dan depresi tidak memberat. ”Karena kita ketahui kecemasan dan depresi ini adalah pintu masuk untuk gangguan jiwa serius, bahkan bisa fatal. Jadi dicegah,” ungkap menteri kesehatan 2014–2019 itu. (lyn/c7/fal)