Jahatnya Bullying, Influencer Rajeswary Appahu Bunuhdiri
Kuala Lumpur, BI [09/12] – Perundungan siber telah muncul sebagai masalah kritis di Malaysia, khususnya setelah kematian yang memilukan dari influencer media sosial Rajeswary Appahu, yang dikenal sebagai Esha. Esha ditemukan tewas pada tanggal 5 Juli, sehari setelah ia mengajukan laporan polisi terhadap dua orang yang telah melecehkannya secara daring. Diyakini ia bunuh diri setelah menanggung ancaman tanpa henti selama lebih dari sebulan.
Investigasi selanjutnya menghasilkan tuntutan terhadap dua pelaku. Pemilik panti jompo Shalini Periasamy menerima denda sebesar RM100 (sekitar US$22) karena menggunakan bahasa yang menyinggung di TikTok, sementara pengemudi truk B Sathiskumar dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena menyerang Esha secara verbal melalui akun TikTok miliknya.
Lima bulan kemudian, keluarga Esha mencari jawaban, dengan ibunya, Puspa Rajagopal, mengungkapkan kesedihannya: “Saya ingin tahu mengapa putri saya bunuh diri. Saya tidak bisa tidur di malam hari.” Saudarinya, Susila Appahu, mempertanyakan kecukupan denda tersebut, bertanya-tanya apakah denda tersebut akan menjadi preseden berbahaya untuk kasus-kasus pelecehan daring di masa mendatang.
Kasus tersebut telah memicu kemarahan publik, menyoroti bahaya yang dihadapi oleh pengguna media sosial, khususnya perempuan. Data dari Komisi Komunikasi dan Multimedia Malaysia menunjukkan bahwa terdapat 9.483 laporan perundungan siber dalam tiga tahun terakhir, sedikit melampaui 9.321 laporan penipuan daring. Sebuah laporan global oleh The Economist Intelligence Unit mengungkapkan bahwa 85% perempuan mengalami kekerasan daring pada tahun 2021, termasuk ujaran kebencian dan pelecehan.
Meskipun kurangnya data khusus gender di Malaysia, LSM telah mencatat tren peningkatan kejahatan siber yang menargetkan perempuan. Firzana Redzuan, pendiri LSM Monsters Among Us, menunjukkan bahwa undang-undang yang ada tidak secara memadai mendefinisikan atau melindungi dari perundungan siber, sehingga korban tidak memiliki dukungan.
Tokoh berpengaruh seperti Shakila Zen dan Nandini Balakrishnan telah berbagi pengalaman mengerikan mereka sendiri dengan kebencian daring, termasuk ancaman terhadap keselamatan mereka. Shakila menerima kiriman yang mengganggu yang mengancamnya dengan serangan asam, sementara Nandini menghadapi pelecehan berkelanjutan yang dibenarkan oleh sebagian orang sebagai hak untuk mengungkapkan pendapat.
Sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, Malaysia berencana untuk memperkenalkan RUU Keamanan Daring yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan hukum dan meningkatkan keamanan digital. Undang-undang yang diusulkan ini akan mengharuskan platform media sosial untuk memastikan keamanan pengguna dan membatasi akses ke konten yang berbahaya. Namun, baik Shakila maupun Nandini tetap skeptis tentang efektivitasnya.
Pemerintah Malaysia juga membuat langkah-langkah untuk meningkatkan keamanan daring, termasuk persyaratan perizinan baru untuk platform media sosial dengan pengguna lokal yang signifikan. Para ahli menekankan bahwa membina lingkungan daring yang lebih aman dimulai dari rumah, mendesak orang tua untuk mendidik anak-anak mereka tentang menavigasi ruang digital secara bertanggung jawab.[*]