
Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, ‘Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, apakah ini termasuk sombong?’ Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya Allah Maha indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.’” (HR. Muslim)
Orang beriman yang rapih, tertib, dan bersih, maka pribadinya juga akan cenderung rapih, tertib dan bersih. Sebaliknya, orang yang penampilannya kucal, kumal dan kusut, maka karakter pribadinya biasanya tidak jauh berbeda. Tentu saja, penampilan rapih, tertib dan bersih itu, akan menjadi kebaikan, selama niat dan caranya benar. Niat yang benar itu agar orang lain tidak terganggu atau agar orang lain senang dan nyaman dengan penampilan kita.
Selain dari itu, yang paling penting adalah Allah suka dengan penampilan yang indah dan rapih sebagaimana sabda Rasulullah (saw):” Innallaha jamilun yuhibbul jamal”. Artinya:” Sesungguhnya Allah itu indah dan sangat menyukai keindahan.”
Oleh sebab itu, hindari niat untuk menjerumuskan orang lain. Mungkin awalnya mereka akan terpesona pada penampilan kita. Akan tetapi, ujung-ujungnya hati mereka malah tergelincir dan menimbulkan penyakit. Tentu saja, dalam hal ini kita menanam saham karena menimbulkan dosa pada orang tersebut.
Hal lain yang sering membuat kita terlena adalah kita jarang berfikir bahwa selama ini kita baru sibuk bercermin ‘topeng belaka’. Topeng make up berupa seragam, jas dasi, sorban, atau aksesori lainnya. Tanpa disadari, kita sudah ditipu topeng buatan sendiri.
Terkadang, kita sangat ingin agar orang lain menganggap diri ini lebih dari kenyataan yang sebenarnya. Kita ingin tampak lebih pandai, lebih gagah, lebih cantik, lebih kaya, lebih saleh, lebih suci dan aneka kelebihan lainnya. Pada akhirnya, selain harus bersusah payah agar topeng ini tetap melekat, kita pun akan dilanda tegang dan was-was. Kita sangat takut ‘topeng’ kita akan terbuka dan orang lain tahu siapa kita sebenarnya.
Oleh sebab itu, berdialoglah dengan diri, “ Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam kotoran-kotoran yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu? Wahai tubuh, apakah engkau makhluq mulia atau menjijikkan? Berapa banyak aib nista yang engkau sembunyikan di balik penampilanmu ini? Wahai tubuh, apakah engkau kelak akan penuh dengan cahaya, bersuka cita dan bercengkerama di surga? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar jahannam? Yang akan terus terasa tanpa ampun, memikul derita tiada akhir?
Sungguh! Kita akan menyadari betapa banyak perbedaan antara yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi di badan. Betapa yang kita lihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah se-onggok sampah busuk yang terbungkus topeng duniawi.
Jika cermin dalam pengertian fisik saja memiliki fungsi dan peran sangat besar, bagaimana dengan cermin dalam pengertian hati yang merupakan bagian paling inti dalam kehidupan ini?
Nabi Muhammad adalah manusia yang hatinya benar-benar terjaga sebagai cermin yang bersih, jernih dan bening. Ketika dicaci, ia tersenyum. Bila ada kesempatan, ia segera membalas dengan kebaikan yang tak terbayangkan. Ketika dinasehati, ia bergembira. Ketika ada masalah ia bermusyawarah. Sama sekali tak ada rasa arogan dalam dirinya, sehingga semua sahabatnya harus diam tak berpendapat. Ketika ada saran ia segera mempertimbangkan sejauh itu logis dan objektif, maka saran itulah yang diterapkan. Ketika aturan dilanggar ia marah dan bertindak tegas. Bahkan dalam kesehariannya, sebagai seorang pemimpin ia tak pernah bisa tenang dengan kesengsaraan rakyat yang dipimpinnya. Ia rela tidak makan tiga hari, asal rakyatnya kenyang. Bahkan, keluarganya pun tidak didahulukan dalam soal makanan dan kemudahan hidup.
Ketika Fathimah, putri terkasihnya datang mengemukakan kesulitan hidupnya, Nabi Muhammad memberinya sebuah dzikir, bukan makanan apalagi kemudahan. Beliau mengatakan kepadanya: “Putriku, sedih hatiku melihat kondisimu. Tetapi semua ini lebih dibutuhkan oleh orang lain, sungguh ini tak layak untuk kuberikan kepadamu, sementara mereka tidak bisa makan dengan kenyang”.
Nabi Muhammad sama sekali tidak berpikir besaran gaji, peluang dipilih untuk menjadi presiden, apalagi membeli kendaraan mewah dan memanjakan anak-anaknya dengan harta rakyat. Itulah manusia sejati. Lantas bagaimanakah dengan situasi umum hari ini?
Maka dari itu, marilah kita menjadi manusia sejati, yang tak sekedar memantas-mantaskan diri dalam penampilan tetapi juga memantaskan akhlak dan perilaku dalam pergaulan kehidupan, sebagai wujud bahwa kita masih punya iman. Dan, itu semua hanya akan terpenuhi manakala setiap jiwa sering membersihkan cermin hidupnya, yakni hati. Jika hati bening, insya Allah ucapan pun akan menentramkan. Tetapi jika hati kotor, pikiran pun akan membahayakan. Maka dari itu, mari kita sering-sering menata diri di hadapan cermin sejati. Bukankah kesantunan lebih kita gemari daripada arogansi? Bukankah kepedulian lebih menyelesaikan masalah daripada keegoisan? Bukankah banyak mendengar lebih membuat kita peka daripada banyak bicara? Bukankah kita lebih nyaman dengan kejujuran daripada kebohongan?
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan keindahan fisik maupun moral kepada kita semua. Amin . [*]