Adat Larung Sesaji Yang Syarat Makna dan Filosofis

Blitar, BI [24/07] – Larung sesaji biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa, khususnya di daerah pesisir, sebagai wujud rasa syukur atas hasil laut dan memohon keselamatan serta keberkahan dalam melaut. Tradisi ini umumnya dilakukan setahun sekali, seringkali pada bulan tertentu seperti bulan Suro atau Syawal, atau pada hari-hari besar keagamaan.
Tradisi larung saji ini memiliki makna spiritual dan filosofis yang mendalam dirangkum dari berbagai sumber, Larung sesaji dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah sekaligus sebagai doa untuk keselamatan dan kesejahteraan nelayan.
Tradisi ini melibatkan proses persembahan berupa sesaji yang dilarungkan ke laut, sering kali dilengkapi dengan berbagai ritual adat, musik tradisional, dan upacara yang penuh simbolisme.
Biasanya, acara ini diselenggarakan pada waktu tertentu, seperti bulan Suro dalam penanggalan Jawa atau hari-hari yang dianggap sakral. Prosesi Larung Sesaji diawali dengan persiapan yang matang oleh masyarakat setempat.
Sesaji yang disiapkan beragam, seperti tumpeng, hasil bumi, buah-buahan, bunga, dan kain tertentu, yang dipercayai memiliki nilai spiritual. Sesaji ini dirangkai dengan teliti untuk mencerminkan keharmonisan antara manusia dan alam.
Sebelum dilarungkan, sesaji tersebut didoakan oleh pemuka adat atau tokoh agama setempat. Doa ini bertujuan untuk memohon perlindungan dan berkah bagi masyarakat pesisir, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari laut.
Pada hari pelaksanaan, suasana menjadi sangat meriah dengan kehadiran warga dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan wisatawan. Upacara ini biasanya diiringi oleh musik gamelan, tari-tarian tradisional, dan berbagai pertunjukan seni lainnya.
Setelah ritual doa selesai, sesaji dibawa ke tengah laut menggunakan perahu. Proses melarungkan sesaji ini merupakan simbol pengembalian rezeki kepada alam sebagai bentuk rasa syukur. Selain itu, larungan ini juga dipercaya sebagai cara untuk menolak bala dan menjaga keseimbangan antara manusia dan kekuatan alam.
Tradisi Larung Sesaji juga memiliki makna sosial yang penting. Selain sebagai sarana pelestarian budaya, upacara ini menjadi momen kebersamaan yang mempererat hubungan antarwarga.
Nilai gotong royong dan solidaritas tercermin dari kerja sama mereka dalam mempersiapkan hingga melaksanakan acara ini. Di era modern, upacara Larung Sesaji juga menjadi daya tarik wisata budaya yang mendukung perekonomian masyarakat setempat.
Larung Sesaji bukan hanya sekadar tradisi turun-temurun, melainkan sebuah ekspresi kearifan lokal yang mengajarkan manusia untuk senantiasa bersyukur, menjaga harmoni dengan alam, dan menghormati leluhur.
Di Kabupaten Blitar pusat pelaksanaan Larung Sesaji biasanya di Pantai Tambakrejo, namun beberapa pantai lain di Blitar selatan juga ikut melaksanakan tradisi ini, seperti Pantai Serang, Pantai Molang, dan lainnya.
Tradisi ini dilakukan setiap tanggal 1 Suro (1 Muharram) dan melibatkan larungan sesaji berupa hasil bumi dan hewan ternak ke laut. Larung Sesaji tidak hanya menjadi ritual keagamaan dan adat, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya di Blitar.[BI]



