
Sesungguhnya perjuangan para pendahulu kita dalam merebut kemerdekaan bukanlah hal yang ringan. Mereka bukan hanya berperang melawan penjajah secara fisik, tetapi juga berjihad dengan harta, waktu, tenaga, jiwa dan raga. Mereka melantunkan takbir, bertawakkal kepada Allah Ta’ala, dan bersatu dalam semangat membebaskan negeri ini dari cengkaman para penjajah yang biadab dan pengkhianat bangsa.
Perjuangan tersebut adalah jihad fi sabilillah, usaha yang diniatkan untuk menegakkan keadilan, membela tanah air, menjaga kehormatan umat, dan mengusir kezaliman. Betapa besar pengorbanan mereka yang mungkin tidak akan bisa kita balas namun kita perlu mengenang dan mendoakan mereka.
Kalau bukan karena pertolongan dan karunia dari Allah Ta’ala, serta keinginan luhur para pahlawan dan mujahid-mujahid kita, mungkin sampai hari ini kita masih hidup dalam penjajahan. Mari kita panjatkan syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah, kemudian jangan lupakan jasa para pendahulu kita. Rasulullah (SAW) bersabda:“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak pandai berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan bukan berarti kita bebas mengikuti hawa nafsu, bebas bermaksiat, bebas merusak moral dan tatanan masyarakat. Itu bukanlah makna kemerdekaan yang sejati.
Kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan dari perbudakan terhadap hawa nafsu. Kemerdekaan adalah kesempatan untuk beribadah dengan tenang, menegakkan kebenaran, menegakkan keadilan, menyebarkan ilmu dan nilai-nilai Islam, serta membangun negeri ini dalam ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemerdekaan adalah amanah. Ia bukan hasil akhir, tetapi awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Tugas kita hari ini bukan hanya menikmati hasil kemerdekaan, tetapi menjaganya, mengisinya dengan amal saleh, pendidikan yang baik, generasi yang tangguh, dan kehidupan masyarakat yang diridhai oleh Allah.
Sering kali manusia salah dalam memahami arti kemerdekaan. Banyak yang menyangka bahwa kemerdekaan adalah bebas sebebas-bebasnya untuk melakukan apa pun yang diinginkan, tanpa aturan dan batasan. Padahal, makna kemerdekaan yang sejati adalah ketika seorang hamba mau dikendalikan dan diatur oleh Dzat yang telah memberikan nikmat kemerdekaan itu sendiri, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemerdekaan sejati adalah ketika seorang insan memilih untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah, serta melepaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya. Inilah bentuk paling tinggi dari kemuliaan dan kebebasan manusia.
Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dengan sangat indah: “Menjadi hamba Allah, itulah hakikat kemerdekaan yang sejati. Karena siapa yang tidak menghamba kepada Allah, maka pasti dia menghamba kepada selain-Nya.”
Renungkanlah wahai kaum muslimin, jika seseorang tidak mau dikendalikan oleh Allah, maka ia pasti akan dikendalikan oleh hawa nafsunya, oleh ideologi sesat, oleh budaya-budaya merusak, atau bahkan oleh kekuasaan manusia lain yang tidak memuliakan syariat Allah. Itulah bentuk penjajahan modern yang jauh lebih berbahaya dari sekadar penjajahan fisik.
Siapa pun yang menghalangi seorang hamba dari beribadah kepada Allah, sejatinya mereka adalah penjajah yang paling nyata dan paling keji. Penjajahan atas ruh dan akidah, lebih parah dari penjajahan atas tanah dan sumber daya. Inilah sebabnya mengapa para nabi dan rasul diutus, untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Rabb semesta alam. Allah juga berfirman:“Dan sembahlah Rabbmu hingga datang kepadamu ‘yakin’ (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Ayat ini mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah, bukan untuk hidup bebas tanpa arah. Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika seseorang hidup dalam ketaatan kepada Rabb-nya sampai ajal menjemputnya.
Dalam sejarah Islam yang mulia, kita mendapati bahwa para sahabat Rasulullah (SAW) bukan hanya para pejuang di medan perang, tetapi juga da’i yang membawa misi pembebasan umat manusia, bukan sekadar dari belenggu penjajahan fisik, tetapi lebih dalam lagi, dari penjajahan jiwa dan akidah.
Ibadah kepada Allah Ta’ala bukanlah terbatas pada ibadah-ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Islam tidak hanya mengatur masjid, tapi juga pasar. Tidak hanya mengatur sajadah, tapi juga mengatur tata niaga, pendidikan, politik, dan hukum. Karena itulah Islam disebut sebagai din yang syamil dan kamil, agama yang menyeluruh dan sempurna.
Sunnatullah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bila sebuah bangsa bersyukur dengan memperbaiki ibadah, moral, hukum, dan tatanan hidup sesuai petunjuk Allah, maka Allah akan tambahkan nikmat-Nya. Namun bila kufur nikmat, lalai dari ibadah, dan menyimpang dari syariat, maka akan datang ujian berupa kekacauan, ketakutan, krisis ekonomi, dan hilangnya keberkahan hidup.
Di antara bentuk penjagaan atas nikmat kemerdekaan yang telah Allah karuniakan kepada bangsa kita adalah memperbanyak rasa syukur kepada-Nya. Karena syukur adalah kunci langgengnya nikmat, dan kufur adalah sebab utama datangnya bencana.
Kita hidup di tanah yang subur, negeri yang luas, dihuni oleh mayoritas umat Islam, dianugerahi kekayaan alam dan potensi sumber daya manusia yang luar biasa. Tapi semua itu hanya akan menjadi sebab nikmat yang berbahaya, jika tidak dibingkai dengan rasa syukur dan penghambaan kepada Allah.
Marilah kita jaga nikmat ini dengan taqwa, dengan amal shalih, dengan menegakkan shalat, menjaga akhlak, menegakkan keadilan, dan menjauhkan diri dari dosa-dosa yang bisa mengundang murka Allah. [BI]



