JICA Temui BP2MI Bahas Pelatihan dan Penempatan PMI Ke Jepang
Jakarta, BI – Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terima audiensi dari Japan International Cooperation Agency (JICA), perihal potensi kerja sama pelatihan dan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Jepang.
Audiensi yang diterima langsung oleh Sekretaris Utama, Rinardi, ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan JICA dengan BP2MI pada Juni 2022 lalu, tentang kebutuhan Jepang atas pekerja migran yang terlatih dan terdidik, serta membahas detail butir-butir kerja sama yang akan disepakati kelak.
Special Advisor to the President for Migrant Worker JICA, Mr. Shishido Kenichi, memulai diskusi dengan visi JICA, yaitu manajemen sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik bagi lapangan kerja Jepang selama lima tahun ke depan. Namun, ia memaparkan beberapa kendala yang menyebabkan penempatan pekerja migran khususnya PMI belum optimal.
“Kendala pertama adalah penyebaran info peluang kerja dan jenisnya kepada masyarakat Indonesia, kedua adalah mekanisme koordinasi kedua belah pihak antara Jepang dengan Pemerintah Indonesia, ketiga tentang mekanisme pelatihan bahasa Jepang, dan terakhir tentang pelatihan di enam sektor spesifik lapangan kerja di Jepang,” terangnya.
Shishido menyatakan, beberapa rencana untuk mengatasi kendala dan mendefinisikan jelas butir-butir kerjasama, adalah memetakan bagaimana kondisi pendidikan bahasa Jepang Calon PMI (CPMI) di Indonesia saat ini. Menurutnya, kendala Bahasa Jepang adalah ujung tombak dari penempatan PMI ke Jepang.
“Tiga bulan terakhir ini, kami mengunjungi berbagai lembaga berwenang di Indonesia, seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), termasuk saat ini ke BP2MI untuk meminta pendapat. Kami mempunyai usul, untuk menyelenggarakan seleksi rekrutmen instruktur/pengajar bahasa Jepang yang kompeten terlebih dahulu, sehingga pembelajaran bahasa Jepang dapat optimal,” ujar Shishido.
Pengantar Kerja Ahli Muda Penempatan Nonpemerintah Kawasan Asia Dan Afrika, Andini Yustie Gathanti, dalam paparannya mendukung pendapat Shishido tentang tantangan utama yang dihadapi JICA-Jepang, yaitu kendala Bahasa Jepang.
“CPMI kesulitan mendapat sertifikat kemampuan Bahasa Jepang setara Japanese Language Proficiency Test (JLPT) N5. Salah satu faktornya adalah tempat pelatihan yang terpusat hanya di Pulau Jawa. Hal ini menyebabkan peserta yang berminat, harus mengeluarkan biaya ekstra untuk akomodasi ke Pulau Jawa,” ungkapnya.
Andini juga menyoroti kurangnya sosialisasi program penempatan ke Jepang melalui media digital, padahal menurutnya, peminat bekerja ke Jepang sangat banyak, tetapi karena kurangnya sosialisasi, mereka tidak terfasilitasi.
“Untuk meningkatkan pelayanan penempatan PMI, ada beberapa hal yang harus dibenahi. Sebagai contoh, harus tersedia tempat pelatihan bahasa Jepang dengan kapasitas sekitar 500 orang untuk pelaksanaan pelatihan selama enam bulan, yang tersebar di seluruh lokasi. Kita harus meningkatkan aspek kuota, waktu, dan lokasi, untuk berkembang maju dalam fasilitas penempatan Jepang,” pungkasnya.
Sekretaris Utama BP2MI, Rinardi, menanggapi diskusi dengan positif. Ia yakin kedua negara akan mendapatkan manfaat baik, mengingat Jepang membutuhkan tenaga kerja usia produktif, serta masyarakat usia produktif di Indonesia berjumlah banyak.
“Peminat bekerja ke Jepang jumlahnya sangat tinggi, tetapi mereka memang belum terinfo detail tentang petunjuk teknisnya. Saya yakin kelak Jepang akan menjadi idola penempatan seperti G to G Korea Selatan. Kita optimis akan menemukan titik tengah dari pembahasan kerja sama ini,” tutupnya. ** (Humas/SD/BJG)