Dubes RI Jepang Dorong PMI Tangkap Peluang Kerja SSW
Tokyo, BI (16/10) – Pekerja Migran Indonesia didorong untuk menangkap peluang kerja di Jepang melalui penempatan Specified Skilled Worker (SSW).
Duta Besar (Dubes) RI untuk Jepang, Heri Akhmadi, mengatakan hingga bulan Juni 2023, ada 25.337 Pekerja Migran Indonesia yang bekerja melalui penempatan SSW yang tersebar di berbagai prefektur di Jepang. Sedangkan untuk pekerja dari Indonesia yang melalui magang (Technical Intern Training Program/TITP) jumlahnya mencapai 45.919 orang per Desember 2022.
“Ke depannya, penempatan melalui TITP ini akan ditutup mengingat Pemerintah Jepang sedang dalam proses perubahan kebijakan tentang tenaga kerja. Kami pun setuju dan lebih condong pada penempatan SSW, karena TITP ini lebih kepada penempatan poor labor,” kata Dubes Heri.
Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo, Gina Aghnia Virginianty, menjelaskan terkait perubahan kebijakan Pemerintah Jepang tentang tenaga kerja, draft pertamanya sudah disampaikan kepada perwakilan-perwakilan negara yang banyak mengirimkan tenaga kerja di Jepang.
“Untuk kebijakan TITP dan SSW, memang Pemerintah Jepang sedang melakukan kajian. Karena TITP ini dianggap sebagai poor labor dan itu merupakan suatu hal yang mencoreng Jepang di dunia international dan selalu dikritise. Sehingga mereka membuat sebuah komite untuk membuat sebuah kajian bagaimana cara penempatannya,” jelas Gina.
Intisari dari laporan interim adalah, sambung Gina, pertama, TITP akan dihapuskan dan digantikan dengan sistem yang baru. Berdasarkan diskusi-diskusi dengan pihak yang terlibat dalam ketenagakerjaan, TITP tidak sepenuhnya dihapuskan tetapi diganti namanya. Sehingga istilah trainee-nya mungkin yang akan diubah.
Kedua, akan ada penyelarasan kategori pekerjaan pada program baru dengan SSW. Karena selama ini TITP sangat luas, dan tidak semuanya bisa pengalihan status (upgrade) ke SSW. Sistem di Jepang adalah mereka mempromosikan kepada tenaga kerja asing, bahwa setelah TITP ini selesai, pemagang bisa melanjutkan ke SSW.
Ketiga, mempertimbangkan penetapan bidang dan jenis pekerjaan pada SSW tingkat dua berdasarkan kebutuhan. Sebelumnya memang SSW ini sangat terbatas sekali, hanya untuk dua sektor. Namun pada Juni lalu, mereka menambahkan lebih banyak lagi, khususnya di sektor industri dan konstruksi. Dengan SSW tingkat dua ini, berarti jika pekerja yang datang ke Jepang untuk pertama kali dengan SSW, maka mereka mendapatkan visa selama 5 tahun. Namun jika mereka bisa lulus ke SSW tingkat dua, mereka bisa sampai 10 tahun.
Keempat, meningkatkan aspek transparansi pada proses yang dilakukan oleh kementerian dan institusi terkait, khususnya dalam menetapkan jumlah tenaga kerja yang akan diterima, dan mengindentifikasi bidang lapangan pekerjaan berdasarkan kebutuhan.
Kelima, menetapkan langkah-langkah dalam memastikan jumlah kemampuan bahasa Jepang para SDM asing sebelum memulai kerja dan membangun sistem yang dapat mengembangkan kemampuan bahasa setelah tiba di Jepang.
Dubes Heri menambahkan, saat diumumkan terkait dibukanya program SSW pada tahun 2019 lalu, pemerintah Jepang membutuhkan SSW sebesar 360 ribu pada 14 sektor pekerjaan. Pada saat itu, Indonesia akan mengisinya sekitar 20%, namun sampai sekarang baru mencapai 25.337 orang hinga Juni 2023.
“Saya kira bagaimana kita harus menyiasatinya, tanpa harus terjebak dalam mengirim poor labor ke Jepang, melainkan dengan mengirimkan tenaga kerja yang bermartabat,” jelas Dubes Heri.
Sepakat dengan pernyataan Dubes Heri, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, menyatakan ia setuju untuk dihapuskannya program magang, karena ini terkait dengan harga diri negara dan harga diri merah putih. Justru lebih baik kesempatan itu dialihkan pada peluang SSW di Jepang.
Namun, lanjut Benny, masukan dari Dubes Heri ini ada konsekuesinya. Program SSW di lapangan banyak menjadi permainan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja), di mana LPK ini memberikan pembebanan biaya yang sangat tinggi pada Pekerja Migran Indonesia. Bahkan dengan strategi ijon rente, selain pembebanan biaya, mereka juga melakukan peminjaman uang yang nantinya akan dibebankan bunga setiap bulan yang sangat tinggi pada Pekerja Migran Indonesia. Tapi penempatan SSW ini menjadi penting, karena peluang kerja sangat terbuka.
“Masukan dari Dubes Heri akan menjadi masukan yang baik bagi Kementerian Ketengakerjaan sebagai pihak yang menangani program SSW. Seperti kita ketahui, proses penempatan Pekerja Migran Indonesia ini ada lima skema, dan yang berada dalam penanganan BP2MI adalah skema G to G. Intervensi BP2MI pada program SSW adalah hanya untuk verifikasi dokumen, penyelenggaraan OPP sebelum berangkat ke negara penempatan, dan memastikan data mereka ke dalam sistem SISKOP2MI,” jelas Benny, saat melakukan Courtesy Call dengan Dubes RI untuk Jepang, di KBRI Tokyo, Jumat (13/10).** (Humas/SD)