Akademisi Berharap Pemerintah Makin Lindungi Pekerja Migran Perempuan
Surabaya, BI – Hari Perempuan Internasional yang diperingati tiap 8 Maret masih menyisakan berbagai masalah yang dihadapi perempuan. Salah satunya adalah posisi perempuan sebagai buruh dan migran.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya Irfa Puspitasari menyatakan, adanya perbedaan upah di berbagai negara mendorong migrasi internasional bagi pekerja migran. Di Indonesia sejak 1990-an pekerja migran kebanyakan perempuan. Karena itu, para pekerja migran dan keluarganya perlu mendapat kesempatan untuk bersuara dalam berbagai tahap pengembangan negara.
”Harus dilibatkan dalam semua proses. Misalnya, proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan. Sistem administrasi negara perlu direformasi supaya bisa memfasilitasi hal tersebut,” ujar Irfa yang juga pemerhati dan peneliti migran, pengungsi, diaspora, dan migrasi global, di tim pusat studi Afrika Universitas Airlangga.
Dia khawatir atas kondisi dan situasi yang terjadi saat ini. Negara pengirim dan atau negara tujuan menjadikan status pekerja migran yang non prosedural sebagai alasan untuk melepas tanggung jawab. ”Sehingga khawatirnya sebagian mereka tetap menjadi kaum sub altern yang hak-haknya tidak diakui dan makin terjerumus dalam perbudakan modern,” kata Irfa.
Dari catatan dan penelitiannya, rata-rata tiap tahun, 70 persen pekerja migran adalah perempuan. Sekitar 90 persen di antaranya bekerja di sektor informal.
Sementara itu, lanjut Irfa, remittance atau pengiriman uang dari negara tempat mereka bekerja ke tempat asalnya tercatat cukup tinggi. Remittance para pekerja migran perempuan itu mendominasi pendapatan daerah.
”Terutama dari daerah pengirim pekerja migran terbanyak seperti Malang, Blitar, dan sekarang bergeser dari daerah seperti NTT. Mereka beremigrasi dengan harapan memperbaiki nasib diri dan keluarga. Mereka menghadapi risiko diskriminasi sosial, rasial, kekerasan gender, dengan hak-hak sebagai imigran pekerja non warga di negara tujuan,” papar Irfa.
Pertanyaannya, lanjut Irfa, apakah para pekerja migran ini, dengan kontribusi devisanya, apakah suara mereka didengarkan dalam proses pembangunan? Irfa juga mempertanyakan apakah proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan yang dilakukan telah memberi kesempatan bagi kelompok subaltern ini untuk berbicara?
”Dan bila sudah, apakah betul-betul didengarkan aspirasi mereka? Atau justru kebanyakan kebijakan yang menyasar mereka masih diwakili pejabat, perusahaan agen pengirim, dan bahkan akademisi yang merasa tahu apa yang terbaik bagi mereka meskipun hal tersebut sebetulnya bertentangan dengan aspirasi mereka,” tutur Irfa.
Irfa berharap perlindungan yang selama ini diusahakan abdi negara dari setiap lini di dalam negeri hingga perwakilan di luar negeri, telah sepadan dengan kontribusi devisa yang telah diberikan. ”Dengan kontribusi itu, saya berharap perlindungan dan kesempatan yang diberikan juga sepadan,” kata Irfa.[jawapos]