InternasionalKesehatan

WHO : Jika Mengalami Susah Bicara segeralah Ke Dokter

Selain batuk dan demam organisasi kesehatan dunia menemukan gejala baru orang susah bicara

 

BI- Virus corona terus bermutasi hingga menimbulkan aneka gejala, melansir JawaPos.com – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencantumkan kesulitan berbicara sebagai gejala serius baru akibat penyakit Covid-19. Siapa pun yang menderita kesulitan bicara secara tiba-tiba diperingatkan untuk mencari pertolongan medis sesegera mungkin.

Saat ini, gejala umum Covid-19 lainnya adalah batuk terus-menerus. Demam tinggi juga menjadi salah satu dari dua gejala utama Covid-19. Namun, temuan di lapangan dari orang yang didiagnosis dengan virus tersebut justru mengeluhkan gejala lain yakni kehilangan kemampuan bicara.

Para ahli di WHO mengatakan, kesulitan berbicara dapat disertai dengan berkurangnya kemampuan motorik, dan siapa pun yang mengalami gejala ini diminta mengunjungi dokter sesegera mungkin.

“Kebanyakan orang yang terinfeksi virus Covid-19 akan mengalami penyakit pernapasan ringan sampai sedang dan sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Gejala serius mencakup kesulitan bernapas atau sesak napas, nyeri atau tekanan di dada, kehilangan kemampuan berbicara atau bergerak,” jelas pihak WHO dilansir dari laman Express, Senin (18/5).

Hanya saja, kehilangan kemampuan bicara mungkin tidak selalu menjadi tanda Coronavirus. Kesulitan berbicara juga bisa menjadi tanda kondisi medis atau psikologis lainnya, seperti gangguan pendengaran, masalah penciuman, racun tertentu, atau mutisme selektif.

Sementara mengutip laman Mirror, awal pekan ini, sebuah studi baru menyoroti gejala lain, psikosis. Para peneliti di Orygen dan La Trobe University di Melbourne telah memperingatkan bahwa Coronavirus menyebabkan psikosis berkala bagi beberapa pasien.

Dr Ellie Brown, penulis utama studi ini, mengatakan, Covid-19 adalah pengalaman yang sangat menegangkan bagi semua orang, terutama mereka dengan kebutuhan kesehatan mental yang kompleks.

“Kita tahu bahwa psikosis, dan psikosis fase pertama, umumnya dipicu oleh tekanan psikososial yang substansial. Dalam konteks Covid-19, ini bisa termasuk stres yang berkaitan dengan isolasi dan harus berpotensi tetap tenang dalam situasi yang menantang,” ungkapnya.

Dalam studi tersebut, tim melihat penelitian tentang virus seperti MERS sebagai SARS, untuk memeriksa apakah ada hubungan tentang bagaimana virus ini dapat berdampak pada orang dengan psikosis. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa pasien Coronavirus mungkin mengalami gejala psikotik, seperti mendengar suara.

Profesor Richard Gray, penulis utama studi ini, mengatakan, mempertahankan prosedur pengendalian infeksi ketika orang sedang psikotik itu menantang.

“Agar mereka tidak menjadi pemancar virus yang potensial, dokter dan penyedia layanan dapat mengambil manfaat dari saran pengendalian infeksi khusus untuk mengurangi risiko penularan,” sebutnya.

Sementara gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan sudah terfokus di tengah pandemi, para peneliti berharap temuan mereka akan memicu penelitian lebih lanjut ke kondisi kesehatan mental yang lebih parah seperti psikosis.

Profesor Gray menambahkan, ini adalah kelompok yang mungkin akan membutuhkan lebih banyak dukungan, dengan isolasi, jarak fisik, mencuci tangan dan lain-lain. Dokter mungkin adalah orang-orang yang paling perlu berpikir dan bekerja pada hal ini untuk membantu populasi yang rentan terpapar virus.

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Terkait

Back to top button
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x

AdBlock Terdeteksi!

Silahkan matikan / whitelist website ini jika anda menggunakan AdBlock Extension. Iklan dari website ini sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan bisnis kami. Terima Kasih. - Please turn off / whitelist this website if you're using AdBlock Extension. Advertising from this website is vital for the sustainability of our business. Thank You.