Ada Populisme Islam yang Hendak Dicegah Berkembang Oleh Menag
Jakarta, BI — Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membeberkan beberapa perilaku yang dinilai sebagai cikal pembentukan gerakan populisme Islam di tanah air.
Yaqut menyebut salah satunya adalah intoleransi yang cenderung menimbulkan sikap merasa benar atas apa yang diyakini kelompoknya, sedangkan kelompok berseberangan dinilai salah.
Populisme Islam sendiri, menurut Yaqut, adalah upaya menggiring nilai agama menjadi sebuah norma konflik yang dikhawatirkan mengganggu tatanan negara.
“Kita sekarang atau tahun-tahun belakangan ini, kita merasakan bagaimana agama itu sudah atau ada yang berusaha menggiring agama menjadi norma konflik,” kata Yaqut dalam Webinar Silaturahmi Nasional lintas Agama yang disiarkan melalui Kanal YouTube Humas Polda Metro Jaya, Minggu (27/12).
“Dalam bahasa paling ekstrem, siapapun yang berbeda keyakinannya, maka dia dianggap lawan atau musuh, yang namanya musuh atau lawan ya harus diperangi. Itu norma yang kemarin sempat berkembang atau istilah kerennya populisme islam,” jelasnya.
Ia pun menegaskan dirinya tidak ingin populisme agama Islam merebak di tanah air. Namun dia tak menyebut kelompok atau gerakan mana yang berupaya menggerakkan populisme Islam di Indonesia.
“Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya,” kata Yaqut.
Berangkat dari kondisi itu, Yaqut menyerukan kepada seluruh umat beragama agar menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan sebagai aspirasi.
Ia mengatakan pemikiran itu memiliki salah satu makna filosofis bahwa antarpemeluk agama satu sama lain harus saling menghormati dan saling toleransi.
Selaku menteri agama, Yaqut pun mengajak seluruh umat beragama di tanah air untuk mengamini filosofi pembentukan negara. Dia menegaskan Indonesia berdiri sebagai kesepakatan antarbudaya dan agama yang ada di tanah air.
Bila ada salah satu pihak yang merasa paling benar dan tidak bersedia menghormati pemeluk agama lain, hal itu menurut Yaqut menunjukkan bahwa warga negara tersebut tak mengamalkan filosofi negara itu sendiri.
“Jadi barang siapa yang ingin menghilangkan satu sama lain atas dasar agama, maka artinya mereka tidak mengakui Indonesia. Mereka tidak memiliki rasa keIndonesiaan,” pungkas Yaqut.(khr/wis/cnn)