Jakarta, BI – Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman meminta pemerintah mewaspadai penyebaran varian Covid-19 delta (B.1.617.2) asal India yang sudah masuk di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dicky menyebut, varian ini memenuhi kriteria super strain karena selain cepat menular, varian delta juga meningkatkan derajat keparahan gejala dan mempengaruhi efektivitas vaksin. Berbagai studi saat ini menyatakan hanya vaksin jenis Pfizer dan AstraZeneca yang tidak terpengaruh oleh varian delta.
“Varian Delta yang nanti akan menjadi pencetus ledakan kasus di Indonesia ini, memenuhi kriteria sebagai super strain. Ini adalah ancaman epidemi di tengah pandemi. Ini amat serius,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Senin, 14 Juni 2021.
Data pemerintah menunjukkan varian ini masuk ke Indonesia pada Mei lalu. Berdasarkan permodelan di sejumlah negara, ujar Dicky, varian delta meledak 3-6 bulan pasca pertama kali ditemukan. “Jadi ledakan kasus di Kudus saat ini misalnya, bukan akibat varian delta. Masih terlalu cepat itu. Kalau masuk Mei, berarti kita punya PR besar potensi ledakan kasus pasca Juli,” ujarnya.
Berdasarkan data Kemenkes per 13 Juni yang diperoleh Tempo, sudah ditemukan 104 kasus varian delta di lima provinsi yaitu Sumatera Selatan 3 kasus (Palembang, Prabumulih, Penukal Abab Lematang Ilir), DKI Jakarta 20 kasus, Jawa Tengah 75 kasus (Kudus, Brebes, Cilacap), Kalimantan Tengah 3 kasus (Gunung Mas, Palangkaraya) dan Kalimantan Timur 3 kasus (Samarinda).
Menurut Dicky, pemerintah perlu mengubah strategi penanganan Covid-19 untuk meredam terjadinya ledakan kasus akibat varian delta ini.
“Tiga kombinasi strategi yang harus dilakukan, yakni; melakukan testing yang masif dan agresif, vaksinasi masif, hingga lockdown. Ini semua selama ini berat untuk Indonesia. Tapi, kita harus benar-benar siapkan itu,” ujar dia.[tempo]