Kisah PMI Yang Terjebak Jaringan Scammer Kamboja
Tulungagung, BI – Nanang Wihandoko (43), warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur, berhasil lolos dari jaringan scammer yang berpusat di Kamboja. Selama 3 bulan di Kamboja, Nanang Wihandoko bekerja dalam sindikat kriminal lintas negara untuk menipu warga Indonesia.
Sebelum terseret hingga jadi scamer di Kamboja Nanang dulu ingin bekerja di Taiwan, namun karena kami berangkat dengan visa kunjungan maka kami tertolak beberapakali saat mau naik pesawat, seperti diketahui bahwa Negara Indonesia sedang memberantas calo dan PMI ilegal atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking).
Beberapa kali tak berhasil keluar negeri akhirnya sekitar satu bulan di Jakarta, Nanang dan kawan-kawan dibawa ke Bali oleh pihat perantara kerja. Lagi-lagi mereka berusaha berangkat jadi PMI.
Dari Bali terbang ke Surabaya lalu terbang ke Malaysia dengan alasan wisata. Sebenarnya di Juanda pun rombongan ini juga ditolak tapi berhasil terbang juga.
“Saat itu per kepala bayar Rp 2.000.000. Janjinya waktu itu rombongan berikutnya hanya Rp 1.750.000,” terang Nanang.
Rombongan tiba di Malaysia pada 26 Maret 2023. Mereka terbang ke Kamboja pada 28 Maret 2023. Nanang mengungkapkan, semua diatur dengan sangat rapi di Kamboja, mulai dari penjemputan sampai sogokan untuk petugas di bandara.
Selama 3 minggu, Nanang dan kawan-kawan hanya makan dan tidur tanpa pekerjaan.
Mereka juga sempat dipinjami uang USD 800 untuk beli rokok dan keperluan pribadi. Setelah itu mereka diberi skrip (naskah), yang memberi arahan untuk menipu orang lewat telepon.
“Naskahnya mirip naskah drama. Apa yang harus kami ucapkan, semua ditulis detail dan disuruh menghafal. Dari situ saya sadar, ‘oh ternyata pekerjaannya disuruh menipu,’” kenangnya.
Nanang ditempatkan di sebuah apartemen di Krong Bavet Provinsi Svay Rieng, perbatasan dengan Vietnam.
Total ada 24 orang, masing-masing 9 dari Tulungagung, 10 dari Solo dan 5 dari Medan.
Dalam naskah yang diberikan, mereka diminta menipu orang Indonesia dengan modus mengaku dari provider telekomunikasi.
Satu tim bagian menelepon serta satu tim lagi bertugas menjadi polisi dan jaksa.
Bos, seorang Tionghoa warga Taiwan kemudian memberikan data calon korban. Data itu berisi identitas korban dengan sangat detail, seperti nama, alamat, Nomor Induk Kependudukan (NIK), sampai nomor telepon yang dipakai.
Mereka menelepon calon korban dan mengatakan, jika nomor telepon korban dipakai bertransaksi obat ilegal. Jika tidak menyelesaikan perkara, maka sambungan telepon dan internet akan diputus. Jika korban mengikuti skenario, selanjutnya akan disambungkan ke tim polisi dari Polda Metro Jaya.
Biasanya tim polisi akan mengatakan, nomor telepon korban juga dipakai untuk tindak pidana pencucian uang. Lalu percakapan seolah dilempar ke Departemen Komunikasi Mabes Polri.
Selama menelepon korban, para polisi gadungan ini juga bicara lewat HT agar lebih meyakinkan.
“Tapi kalau korbannya sudah pintar, kami langsung dicaci maki. Ada juga yang pura-pura bodoh ikut alur saja, ujung-ujungnya kami dikerjai,” ucapnya.
Dari tim polisi, korban lalu diarahkan ke tim kejaksaan abal-abal. Jaksa ini arahnya untuk bertransaksi menyelesaikan masalah lewat tebusan uang.
Uang ini untuk menghentikan kasus pencucian uang dengan nomor telepon dan identitas kependudukan korban.
Sebelumnya tim ini juga berdalih, harus ada pemisahan antara rekening asli korban dengan rekening penjahat atas nama korban.
Karena itu korban diminta melakukan proses pemindaian untuk memindahkan rekeningnya ke rekening negara. Jika korban menuruti, maka seluruh rekeningnya terkuras. Namun sering kali tim jaksa yang melakukan negosiasi besarnya uang tebusan perkara.
“Saya tidan terlalu menjiwai agar yang saya telepon sadar ini penipuan. Dari ribuan yang saya telepon, hanya dua yang pernah kena, itupun tidak besar,” katanya.
Proses penipuan ini dibuat cepat hanya dalam waktu satu hari. Calon korban juga diancam agar tidak memberitahukan orang lain.
Ancamannya bisa dipidana karena menyebarkan kasus rahasia negara. Namun modus ini mulai banyak terbaca, sehingga beralih modus ke penipuan e-commerce. Ada juga yang modus percintaan atau love scamming.
Namun karena sudah tidak tahan, Nanang telepon temannya untuk melapor ke Polres Tulungagung. Akhirnya ibu Nanang, SW (63) melapor ke Polres Tulungagung pada 14 Juni 2023.
Saat itu Nanang juga sempat video call dengan salah satu perwira di Polres Tulungagung, untuk dimintai informasi. Namun tindakannya ini sempat ketahuan sang bos.
Nanang pun dipanggil secara khusus ke ruangan bos.
“Saat itu saya sudah pasrah antara hidup dan mati. Kalau saya dibunuh juga tidak akan ada yang tahu,” ucapnya.
Ternyata Nanang selamat karen sang bos hanya menegurnya.
Namun dampak laporannya, sang bos memindahkan usahanya ke Filipina. Seluruh peralatan dan pekerja diboyong ke Filipina.
Nanang masih sempat ditawari ikut pindah ke Filipina, namun tawaran ini ditolak. Ia bersikukuh balik ke Indonesia.
Akhirnya dengan dikawal ketat. Nanang dipulangkan bersama 7 orang lainnya pada 18 Juni 2023. Sebelum keluar dari apartemen, ponsel dimintai lebih dulu di-reset factory.
Dua di antaranya adalah pasangan suami istri asal Tulungagung. Empat orang dari 8 orang yang dipulangkan turun di Malaysia. Nanang menduga mereka mendapat bos baru di Malaysia.
“Ada yang memilih bertahan di sana karena menikmati pekerjaan. Sudah mendapatkan hasil dari pekerjaan ini,” ungkap Nanang.
Menjadi bagian sindikat scammer bagaikan buah simalakama. Sebab jika pandai mendapatkan korban, maka akan dipertahankan bos. Namun jika bodoh dan sulit mendapatkan hasil, maka akan menjadi komoditi yang diperdagangkan di antara sindikat.
“Kalau yang bodoh diperjualbelikan di antara kelompok pelaku scammer. Satu kepala dihargai 2.000 dollar (Amerika),” pungkas Nanang. [*]