Tradisi Megengan Ajaran Sunan Kalijaga
Tradisi selamatan menjelang bulan puasa tiba ajaran Sunan Kalijaga di masa kerajaan Majapahit

Megengan merupakan sebuah tradisi masyarakat Jawa yang pada masanya masih dipengaruhi oleh budaya Hindu yang biasa memberikan sesajen makanan yang tidak boleh dimakan oleh manusia.
Seiring dengan waktu segala tradisi akan berubah sesuai dengan masanya, seperti megengan sendiri yang memiliki perubahan dari sesajen yang tidak boleh dimakan menjadi boleh dimakan agar tak terjadi kesia-siaan makanan yang sudah dimasak oleh manusia itu sendiri.
Megengan di tanah jawa di perkenalkan oleh Sunan Kalijaga melalui dakwahnya di jawa melalui metode akulturasi budaya, diceritakan jika sebelumnya megengan itu sendiri sudah ada sejak masa pemerinthan Majapahit dengan nama Ruwahan yang berasal dari kata Ruwah. Di mana pada saat pemerintahan Majapahit, Ruwahan itu suatu tradisi membuat sesajen untuk arwah dan tidak boleh dimakan.
Perlahan tradisi Ruwahan dirubah oleh Kanjeng Sunan menjadi adat tradisi Megengan yaitu sesajen di rubah dengan makanan yang bisa dibagikan dan dimakan bersama.
Tradisi megengan di lakukan masyarakat jawa untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang di laksanakan pada akhir bulan Sya’ban atau Ruwah untuk menandai bahwa sebentar lagi masuk bulan Ramadhan yang suci dan penuh ampunan.
Tradisi megengan juga mengingatkan kita pada leluhur yang sudah lebih dulu menghadap Allah SWT., agar didoakan sebagai penghormatan kepada arwah mereka.
Dulu, tradisi megengan sendiri identik dengan bancakan atau tasyakuran, dengan membuat makanan yang disebut masyarakat sebagai “Ambengan” yang terdiri makanan pokok berupa nasi dengan lauk pauk yang bermacam-macam, mulai dari ayam, telur, sayur-sayuran, mie goreng dan lain sebagainya.
Kini, seiring dengan waktu, semua orang bisa megengan dengan menggunakan wadah yang berupa bakul plasti, baskom atau apa saja, dengan tujuan dan doa yang sama yaitu bersyukur, berdoa untuk arwah leluhur dan berbagi makanan yang bisa dimakan.
Ada yang lebih menarik dari menu megengan, masyarakat selalu menyertakan kue Apem sebagai simbol ampunan dan permohonan ampun dari anak cucu pada kakek moyang leluhurnya.
Keberadaan kue Apem disini juga disertai tindakan menyiziarahi makam leluhur dan keluarga, mereka mendoakan langsung disamping makan.
Ritual Megengan ini pun dilakukan masih sesuai dengan ajaran Sunan Kalijaga, dengan cara melantunkan ayat suci Al-Qur’an, Tahlil untuk doa arwah leluhur yang sudah meninggal.
Untuk tahun 2020 ini, masyarakat tidak bisa leluasa dalam menjalanan tradisi megengan, mereka yang biasanya bisa duduk dan doa bersama di dalam rumah atau dihalaman kini harus terhenti karena adanya himbauan jaga jarak akibat wabah corona. Meski demikian masyarakat tetap antusian dalam berbagi makanan seiring doa semoga wabah covid-19 yang sedang menyerang dunia ini bisa segera berakhir. Sebab apapun itu bisa berubah, seperti virus yang merubah cara hidup kita, kelak kita juga akan merubah dunia dengan antivirus. (bi)